Selasa, 04 Februari 2014

Karyawan Teladan vs Pengusaha Sukses


Mengapa Lulusan Adalah Karyawan Dan Putus Sekolah Pengusaha Sukses


Sering aku bertanya-tanya apa yang membuat putus sekolah menjadi pengusaha sukses dan orang-orang terdidik menjadi karyawan di bawahnya. Ini pengusaha sukses yang saya maksud adalah pengusaha generasi pertama yang baik sekolah atau jebolan perguruan tinggi tetapi tidak mewarisi orangtuanya atau bisnis keluarga mereka. Jika Anda belum memikirkan hal itu, ya, ada daftar panjang pengusaha putus sekolah yang sukses terkenal dan pengusaha kecil tidak begitu terkenal di wilayah Anda. Saya sering bertanya-tanya jika mereka tidak berhasil dalam pendidikan mereka, apa yang membuat putus sekolah ini menjadi pengusaha sukses? Setelah analisis mendalam, ini adalah alasan yang saya temukan membuat putus sekolah menjadi pengusaha dan sukses dalam usaha bisnis mereka, alasan yang mencegah mereka dari menjadi karyawan. Tentu saja ya, ini adalah alasan mengapa karyawan tetap karyawan sepanjang hidup mereka. Sebelum pindah ke diskusi utama kami, mari kita lihat alasan umum mengapa terjadi putus sekolah.

Alasan untuk putus studi (sekolah dan perguruan tinggi )

Pertama-tama, jika Anda menganalisis mengapa ada putus sekolah, Anda akan berakhir pada tiga alasan menarik yang mendasari:
  • Dengan putus sekolah tidak bersemangat untuk belajar apa yang mereka diajarkan di sekolah atau perguruan tinggi.
  • Dengan putus sekolah menjadi terobsesi dengan sesuatu yang lain dari studi yang menarik mereka untuk mengejar dengan bisnis dari kepentingan mereka.(Alasan yang satu dan dua meskipun tampaknya berbeda bergabung pada alasan global.)
  • Putus sekolah terjadi karena kendala keuangan di rumah. Orang tua mereka tidak mampu untuk mendidik anak atau dorongan untuk mendapatkan sebagai pendapatan menjadikan putus sekolah sangat penting untuk mempertahankan keluarga.
  • Oke, mereka telah putus sekolah dan telah keluar, apa yang membuat putus sekolah ini menjadi pengusaha sukses?Apa yang membuat mereka berbeda dari lulusan? Mari kita menganalisis.
  • Putus sekolah, dan lulusan memiliki pola pikir yang berbeda

Dasar pemikiran proses itu sendiri berbeda dari orang-orang yang telah jatuh keluar dan mereka yang berhasil dicapai studi mereka; ini adalah apa yang akan kukatakan pola pikir karyawan vs pola pikir pengusaha , putus sekolah yang memiliki mindset wirausaha dan lulusan dengan pola pikir karyawan. 

Orang dengan semangat kewirausahaan melihat pendidikan sebagai mode untuk mendapatkan pengetahuan mana sebagai orang-orang dengan pola pikir karyawan melihat pendidikan sebagai alat untuk melengkapi diri untuk memenangkan persaingan sehari-hari mereka. D

engan ciri-ciri bisnis mereka, putus sekolah mengamati lingkungan dan menemukan bisnis dalam memecahkan kebutuhan. Mereka pikir memecahkan kebutuhan merupakan peluang bisnis dan modal dapat ditemukan dengan mudah untuk model bisnis yang kuat sementara mereka yang berhasil menyelesaikan pendidikan percaya bahwa Anda perlu untuk memiliki padat modal untuk memulai bisnis biasa-biasa saja.


Putus sekolah berani untuk merangkul kegagalan, lulusan Fearful
Putus sekolah cukup berani untuk merangkul kegagalan sementara lulusan takut merangkul kegagalan . Sementara putus sekolah berpikir mereka tidak ada kehilangan, mereka mulai suatu perusahaan dengan berani. Rekan-rekan mereka, lulusan, terus melakukan perhitungan matematika makalah dan menunda-nunda gagasan tentang memulai sebuah bisnis, jika mereka punya ide bisnis.


Putus sekolah yakin, lulusan berpikiran ganda

Setelah di kehidupan nyata di jalanan dengan bisnis, putus sekolah tidak memiliki pilihan lain, itu adalah masalah kelangsungan hidup, lakukan atau mati. Tanpa mandat yang baik, putus sekolah tidak punya pilihan untuk mendapatkan pekerjaan yang baik. Jadi satu-satunya pilihan adalah untuk unggul dalam inisiatif mereka, apa pun itu adalah.

Dalam pikiran mereka dalam, putus sekolah tidak merasa puas dengan kehidupan biasa, stereotip. Mereka ingin cukup waktu untuk menghabiskan waktu dengan keluarga dan teman-teman mereka. Mereka ingin cukup uang untuk memimpin gaya hidup pemilik bisnis. 

Dengan keinginan terpendam dalam pikiran mereka, mereka tak punya pilihan selain untuk sukses dengan keterampilan mereka kewirausahaan di biaya apapun.Mereka lebih prihatin tentang mengembangkan sebuah model bisnis yang menghasilkan pendapatan pasif. Maka mereka berpikir semua cara untuk mencapai keberhasilan dan fokus pada satu yang gagal bukti, dengan percaya penuh diri. 

Sebaliknya, lulusan sukses memiliki pikiran bimbang tentang melompat ke bisnis dan meragukan keberhasilan dalam rencana bisnis mereka, kurangnya kepercayaan diri. Oleh karena itu mereka terlihat lebih pada mendapatkan dipekerjakan daripada mempekerjakan seseorang. Mereka fokus dalam mendapatkan penghidupan dengan pekerjaan.

Ciri karyawan yang sering dimanfaatkan di kantor

Lulusan ingin pekerjaan White-Collar, tidak mempedulikan yang putus sekolah

Ini adalah satu lagi fakta menarik. Lulusan senang dengan hanya pekerjaan tertentu saja dan tidak ada pembatasan untuk yang putus sekolah, mereka realistis turun kebawah, bahkan siap untuk bekerja di jalanan. Bumi dan langit adalah batas mereka. Jadi, itu adalah gambaran yang jelas tentang bagaimana keadaan akhirnya menyebabkan putus sekolah untuk menjadi pengusaha dan lulusan untuk menjadi karyawan. 

Sedangkan orang-orang yang menjual waktu mereka, yang kontrak bekerja dari rumah (mereka adalah benar-benar karyawan yang bekerja untuk lebih dari satu perusahaan) atau diakui pemilik bisnis rumah seperti afiliasi pemasar dan MLM, profesional bekerja sendiri, teknisi, tukang kayu, tukang pipa, atau listrik , bukan termasuk kategori pengusaha.

Seorang pengusaha yang nyata adalah orang yang kerajinan jalan-Nya sendiri, yang mengubah ide bisnis padat menjadi kenyataan, ke bisnis yang memerlukan setidaknya intervensi dan administrasi sehari-hari oleh pemilik. 

Jadi pemilik memiliki cukup waktu untuk menghabiskan waktu dengan keluarganya, cukup uang untuk pergi pada liburan setiap kali dia suka dan semua kenyamanan, kemewahan, dan kebebasan.

Sekarang pada apa membuat pengusaha sukses sementara karyawan tetap karyawan.


Pengusaha yang bergairah dalam perbuatan mereka, karyawan bekerja untuk uang
Alasan paling menarik si putus sekolah menjadi bergairah dengan bisnis Selain studi. Jadi setelah mereka putus, mereka mengejar dengan apa yang mereka menjadi obsesi mereka, mereka mengejar dengan apa yang memberi mereka kebahagiaan. . Jadi pelajaran yang kita harus belajar di sini: melakukan apa yang Anda cinta dan uang akan mengikuti. Namun, untuk lulusan yang berakhir sebagai karyawan, ini adalah cara lain dari putaran. 

Apa pun yang mereka lakukan adalah untuk uang. Mereka mencintai kenaikan gaji dari perusahaan tempat mereka bekerja, tapi bukan pekerjaan mereka. Itu membuat perbedaan ketika seseorang melakukannya dari hati dan seseorang melakukannya untuk uang.


Karyawan yang puas hidup dari gaji ke gaji

Seperti saya katakan sebelumnya, setelah lulus kuliah, lulusan berusaha mendapatkan di pekerjaan dan mendapatkan gaji bulanan. Mereka memiliki perasaan yang tidak aman selalu dan termotivasi oleh rasa takut. 

Mendapatkan pekerjaan memastikan zona kenyamanan, penghasilan tetap, perasaan yang aman untuk membuat mereka pergi. 

Ciri-ciri perfeksionis membantu mereka melakukan pekerjaan yang indah, menyenangkan bos selalu, dan tetap terjebak dengan pekerjaan. Setelah menjadi kepompong pekerjaan, mereka tidak mampu untuk keluar dari itu dan tidak mau mengambil risiko lebih lanjut dan akan mengutip alasan membesarkan sebuah keluarga, sebuah pelarian.

Pengusaha cinta risiko dan peluang, karyawan yang menolak risiko

Pengusaha sukses memiliki keyakinan tertentu dan mereka keras tentang hal itu. Mereka yang optimis yang melihat kesempatan dalam setiap kesulitan. Mereka menemukan keamanan di beberapa aliran pendapatan dan akan senang untuk menghadapi lebih banyak resiko. 

Mereka mandiri dan self motivasi atau lebih tepatnya saya akan mengatakan mereka termotivasi oleh kesempatan. Kadang-kadang satu langkah di depan, mereka tidak selalu oportunistik tetapi mereka menciptakan peluang!!

Apakah orang berpikir pasar untuk iPod, iPhone, atau iPad? 

Tapi ada! Steve Jobs menciptakan kesempatan. 

Di sisi lain, karyawan adalah menolak resiko. Mereka tidak toleran terhadap pasang dan surut, dan ingin hidup damai. Mereka puas dengan pekerjaan yang aman dan satu pendapatan.


Pengusaha bekerja setiap saat, karyawan cinta tetap jam kerja

Tidak ada jam kerja tetap bagi pengusaha. Karena mereka terobsesi dengan apa yang mereka lakukan, mereka akan bekerja setiap saat sepanjang hari. Dengan dorongan keluarga dan keuangan, mereka bahkan akan membuatnya bekerja sebagai pengusaha paruh waktu. Mereka bisa mendapatkan flash ide bisnis bahkan pada tidur dan Anda bisa melihat mereka bekerja pada gagasan bangun dari tempat tidur bahkan pada laru malamNamun, melihat karyawan di kantor, visi mereka akan selalu difokuskan pada jam mengantisipasi waktu untuk bergerak keluar dari kantor.



Siapa yang Membuat Pemimpin yang baik, Pengusaha atau Karyawan?

Keterampilan kepemimpinan sangat penting bagi pengusaha sementara tidak suatu keharusan bagi karyawan. Seorang karyawan membutuhkan keterampilan kepemimpinan hanya untuk naik jabatan di perusahaan atau untuk berserikat untuk perundingan bersama, jenis terakhir ini selalu dalam gagasan bahwa majikan mengeksploitasi buruh untuk keuntungan. 

Alasan dasar mengapa seorang karyawan ingin menjadi pemimpin adalah jaminan pekerjaan yang ditawarkan dan keuntungan asosiasi, apakah ia adalah pemimpin serikat buruh atau karyawan atas dalam hirarki. Namun, keterampilan kepemimpinan yang berbeda untuk pengusaha. 

Pengusaha percaya dalam jaringan kepemimpinan dan mendapatkan hal yang dilakukan oleh outsourcing dengan sumber daya sendiri setidaknya. Pola pikir kepemimpinan kewirausahaan lebih profit oriented dan berpikir untuk mendapatkan pekerjaan yang dilakukan dengan biaya yang sangat minim untuk mengekstrak keuntungan yang maksimal.



Mentalitas karyawan Vs majikan, mana yang Anda miliki? 

Bagi Anda untuk menjadi sukses secara finansial dan mencapai mil ekstra, Anda harus keluar dari mentalitas kerja, dan mengambil beberapa resiko yang diperhitungkan. Bagaimana Anda mengubah dari pola pikir karyawan ke pola pikir pemilik bisnis? 

Jawabannya baik dikatakan di atas. Anda telah diajarkan sejak kecil untuk bekerja keras dan mengikuti arah, alasan mengapa Anda memiliki mentalitas karyawan bahkan tanpa sepengetahuan Anda. 

Sekarang untuk menyingkirkan sifat-sifat karyawan, Anda harus melakukan hal yang sebaliknya apa yang Anda lakukan sekarang dan mengikuti ciri-ciri pengusaha yang saya telah dijelaskan di atas. Singkatnya, Anda harus berpikir secara mandiri dan mematuhi intuisi dari dalam diri Anda sendiri!




Menjadi Seorang Karyawan Yang Sukses

Jika anda ingin menjadi seorang karyawan yang sukses dan juga di senangi oleh atasan ataupun bos anda, karir naik dengan cepat bahkan hingga gaji pun ikut naik. Menjadi seorang karyawan yang baik merupakan sebuah kewajiban bagi setiap orangnya. Kewajiban seorang pekerja ialah bekerja dengan sebaik-baiknya. Penilaian seorang karyawan biasanya dilihat dari cara kerja karyawan itu sendiri. Maka dari itu ada baiknya kita sebagai karyawan bekerja dengan baik dan juga memberikan ide yang paling baik bagi perusahaan. Untuk menjadi karyawan yang sukses anda dapat melakukan beberapa cara yang sederhana yang bisa anda terapkan pada lingkungan kerja anda seperti :

  • Pondasi yang paling utama yang harus dilakukan ialah dengan cara menata kembali sikap, mengurangi sikap negative yang ada dalam diri anda dan berusaha membangun sikap yang lebih positif. 
  • Setiap hal yang anda alami ataupun berita yang anda hadapi ada baiknya anda hadapi dengan sikap yang positif dan tidak mudah dalam mengambil keputusan.
  • Tingkatkan juga sikap ingin belajar anda. Belajar merupakan sebuah proses dalam mengasah diri yang harus terus dilakukan. Belajar di sini bukan hanya belajar pada atasan saja, namun anda juga bisa belajar pada asisten ataupun bawahan anda. Jangan sungkan dalam membagi ilmu yang anda miliki.
  • Dalam suasana kerja, ada baiknya anda saling membantu semua rekan kerja anda. Selain itu juga ada baiknya anda tidak memilih ketika akan menolong. Sikap yang suka menolong ini juga biasanya di barengi dengan sikap jujur dan juga pemaaf dalam bertindak.
  • Bekreja secara maksimal. Hal ini juga berarti anda harus menjalankan tanggung jawab yang telah di berikan oleh perusahaan kepada anda. Selain itu anda harus siap untuk menangani pekerjaan atasan anda ketika ia berhalangan hadir. Hal ini bisa membuat anda lebih mandiri dalam menghadapi segala situasi.
  • Kebanyakan perusahaan lebih menyukai karyawan yang mampu melakukan banyak hal. Jika anda bisa melakukan hal yang tidak bisa dilakukan orang lain, hal ini juga bisa membantu anda menjadi karyawan yang sukses.
  • Lakukan yang terbaik ketika anda bekerja. Hasil akhir dalam pekerjaan selalu menjadi perhatian atasan anda dalam mendapatkan kemajuan. Buatlah diri anda menjadi karyawan yang berpengalaman sebab hal ini bisa menentukan keberhasilan karir anda.
  • Evaluasi pada diri anda sendiri setelah anda menyelesaikan semua pekerjaan anda. Tanyakan juga pada diri anda sendiri mengenai hasil dari pekerjaan yang telah dicapai apakah telah sesuai dengan target perusahaan atau belum.
Menjadi karyawan yang membanggakan dan juga sukses bukan hanya tentang penghargaan, namun juga bagaimana anda menjadi karyawan yang bisa memberikan nilai lebih dalam memajukan perusahaan anda.

Semoga Bermanfaat!

Rabu, 29 Januari 2014

Emha Ainun Nadjib: Gusti Allah Tidak “Ndeso”

Suatu kali Emha Ainun Nadjib ditodong pertanyaan beruntun. “Cak Nun,” kata sang penanya, “misalnya pada waktu bersamaan tiba-tiba sampeyan menghadapi tiga pilihan, yang harus dipilih salah satu: 
 pergi ke masjid untuk shalat Jumat, 
mengantar pacar berenang, atau 
mengantar tukang becak miskin ke rumah sakit akibat tabrak lari, 
mana yang sampeyan pilih?“

Cak Nun menjawab lantang, “Ya nolong orang kecelakaan.”
“Tapi sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?” kejar si penanya.
“Ah, mosok Gusti Allah ndeso gitu,” jawab Cak Nun.
“Kalau saya memilih shalat Jumat, itu namanya mau masuk surga tidak ngajak-ngajak, ” katanya lagi. “Dan lagi belum tentu Tuhan memasukkan ke surga orang yang
memperlakukan sembahyang sebagai credit point pribadi.

Bagi kita yang menjumpai orang yang saat itu juga harus ditolong, Tuhan tidak berada di mesjid, melainkan pada diri orang yang kecelakaan itu. 

Tuhan mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang. Kata Tuhan: kalau engkau menolong orang sakit, Akulah yang sakit itu. Kalau engkau menegur orang yang kesepian, Akulah yang kesepian itu. Kalau engkau memberi makan orang kelaparan, Akulah yang kelaparan itu.

Seraya bertanya balik, Emha berujar, “Kira-kira Tuhan suka yang mana dari tiga orang ini. Pertama, orang yang shalat lima waktu, membaca al-quran, membangun masjid, tapi korupsi uang negara.

Kedua, orang yang tiap hari berdakwah, shalat, hapal al-quran, menganjurkan hidup sederhana, tapi dia sendiri kaya-raya, pelit, dan mengobarkan semangat permusuhan. Ketiga, orang yang tidak shalat, tidak membaca al-quran, tapi suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang?”

Kalau saya, ucap Cak Nun, memilih orang yang ketiga. Kalau korupsi uang negara, itu namanya membangun neraka, bukan membangun masjid. Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya bukan membaca al-quran, tapi menginjak-injaknya. Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya tidak sembahyang, tapi menginjak Tuhan. Sedang orang yang suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang, itulah orang yang sesungguhnya sembahyang dan membaca al-quran.

Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat shalatnya. Standar kesalehan seseorang tidak melulu dilihat dari banyaknya dia hadir di kebaktian atau misa. 

Tolok ukur kesalehan hakikatnya adalah output sosialnya: kasih sayang sosial, sikap demokratis, cinta kasih, kemesraan dengan orang lain, memberi, membantu sesama. Idealnya, orang beragama itu mesti shalat, misa, atau ikut kebaktian, tetapi juga tidak korupsi dan memiliki perilaku yang santun dan berkasih sayang.

Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama adalah sikap. Semua agama tentu mengajarkan kesantunan, belas kasih, dan cinta kasih sesama. 

Bila kita cuma puasa, shalat, baca al-quran, pergi kebaktian, misa, datang ke pura, menurut saya, kita belum layak disebut orang yang beragama. 

Tetapi, bila saat bersamaan kita tidak mencuri uang negara, meyantuni fakir miskin, memberi makan anak-anak terlantar, hidup bersih, maka itulah orang beragama.

Ukuran keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan dari kesalehan personalnya, melainkan diukur dari kesalehan sosialnya. Bukan kesalehan pribadi, tapi kesalehan sosial. Orang beragama adalah orang yang bisa menggembirakan tetangganya. 

Orang beragama ialah orang yang menghormati orang lain, meski beda agama. 

Orang yang punya solidaritas dan keprihatinan sosial pada kaum mustadh’afin (kaum tertindas). Juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang bukan haknya. Karena itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap dan jiwa sosial tinggi. 

Bukan orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid, sementara beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan.



Ekstrinsik VS Intrinsik

Dalam sebuah hadis diceritakan, suatu ketika Nabi Muhammad SAW mendengar berita perihal seorang yang shalat di malam hari dan puasa di siang hari, tetapi menyakiti tetangganya dengan lisannya. 

Nabi Muhammad SAW menjawab singkat, “Ia di neraka.” Hadis ini memperlihatkan kepada kita bahwa ibadah ritual saja belum cukup. Ibadah ritual mesti dibarengi ibadah sosial.

Pelaksanaan ibadah ritual yang tulus harus melahirkan kepedulian pada lingkungan sosial.

Hadis di atas juga ingin mengatakan, agama jangan dipakai sebagai tameng memperoleh kedudukan dan citra baik di hadapan orang lain. Hal ini sejalan dengan definisi keberagamaan dari Gordon W Allport. Allport, psikolog, membagi dua macam cara beragama: ekstrinsik dan intrinsik.

Yang ekstrinsik memandang agama sebagai sesuatu yang dapat dimanfaatkan. Agama dimanfaatkan demikian rupa agar dia memperoleh status darinya. Ia puasa, misa, kebaktian, atau membaca kitab suci, bukan untuk meraih keberkahan Tuhan, melainkan supaya orang lain menghargai dirinya. 

Dia beragama demi status dan harga diri. Ajaran agama tidak menghujam ke dalam dirinya.

Yang kedua, yang intrinsik, adalah cara beragama yang memasukkan nilai-nilai agama ke dalam dirinya. Nilai dan ajaran agama terhujam jauh ke dalam jiwa penganutnya. Adanya internalisasi nilai spiritual keagamaan. Ibadah ritual bukan hanya praktik tanpa makna.

 Semua ibadah itu memiliki pengaruh dalam sikapnya sehari-hari. Baginya, agama adalah penghayatan batin kepada Tuhan. 

Cara beragama yang intrinsiklah yang mampu menciptakan lingkungan yang bersih dan penuh kasih sayang.

Keberagamaan ekstrinsik, cara beragama yang tidak tulus, melahirkan egoisme. Egoisme bertanggungjawab atas kegagalan manusia mencari kebahagiaan, kata Leo Tolstoy. Kebahagiaan tidak terletak pada kesenangan diri sendiri. Kebahagiaan terletak pada kebersamaan. 

Sebaliknya, cara beragama yang intrinsik menciptakan kebersamaan. Karena itu, menciptakan kebahagiaan dalam diri penganutnya dan lingkungan sosialnya. Ada penghayatan terhadap pelaksanaan ritual-ritual agama.

Cara beragama yang ekstrinsik menjadikan agama sebagai alat politis dan ekonomis. Sebuah sikap beragama yang memunculkan sikap hipokrit; kemunafikan. Syaikh Al Ghazali dan Sayid Quthb pernah berkata, kita ribut tentang bid’ah dalam shalat dan haji, tetapi dengan tenang melakukan bid’ah dalam urusan ekonomi dan politik. Kita puasa tetapi dengan tenang melakukan korupsi. Juga kekerasan, pencurian, dan penindasan.

Indonesia, sebuah negeri yang katanya agamis, merupakan negara penuh pertikaian. Majalah Newsweek edisi 9 Juli 2001 mencatat, Indonesia dengan 17.000 pulau ini menyimpan 1.000 titik api yang sewaktu-waktu siap menyala. Bila tidak dikelola, dengan mudah beralih menjadi bentuk kekerasan yang memakan korban. Peringatan Newsweek lima tahun lalu itu, rupanya mulai memperlihatkan kebenaran. Poso, Maluku, Papua Barat, Aceh menjadi contohnya. Ironis.

Jalaluddin Rakhmat, dalam Islam Alternatif , menulis betapa banyak umat Islam disibukkan dengan urusan ibadah mahdhah (ritual), tetapi mengabaikan kemiskinan, kebodohan, penyakit, kelaparan, kesengsaraan, dan kesulitan hidup yang diderita saudara-saudara mereka. Betapa banyak orang kaya Islam yang dengan khusuk meratakan dahinya di atas sajadah, sementara di sekitarnya tubuh-tubuh layu digerogoti penyakit dan kekurangan gizi.

Kita kerap melihat jutaan uang dihabiskan untuk upacara-upacara keagamaan, di saat ribuan anak di sudut-sudut negeri ini tidak dapat melanjutkan sekolah. Jutaan uang dihamburkan untuk membangun rumah ibadah yang megah, di saat ribuan orang tua masih harus menanggung beban mencari sesuap nasi. Jutaan uang dipakai untuk naik haji berulang kali, di saat ribuan orang sakit menggelepar menunggu maut karena tidak dapat membayar biaya rumah sakit. Secara ekstrinsik mereka beragama, tetapi secara intrinsik tidak beragama. [ed.AYS]



Emha Ainun Nadjib/Cak Nun (Kutipan)

  1. “Kamu harus membedakan konteks perbedaan pendapat dalam politik dengan pergaulan kemanusiaan. Jangan menganggap pejabat pasti jelek dan rakyat biasa pasti baik, pandangan seperti itu tidak adil, ada urusan dan konteksnya sendiri-sendiri” (Emha Ainun Nadjib/Cak Nun) 
  2. “Kamu punya ruang dalam hatimu untuk merasakan hati para mbambung (gelandangan), sehingga hatimu sedih, getir, terimpit seribu gunung, sementara orang-orang pandai sibuk dengan program-program dan omong besar di koran-koran. Tuhan tidak bertanya padamu apakah kamu mampu menolong mbambung atau tidak, tapi melihat apakah kamu mencintai orang lemah atau tidak” (Emha Ainun Nadjib/Cak Nun) 
  3. “Yang lebih kalian cari bukanlah kebaikan melainkan kekayaan, yang lebih kalian buru bukanlah keluhuran melainkan kenyamanan, dan pada posisi seperti itu kalian selalu merasa lebih tinggi derajat dibanding orang kecil. Coba hitunglah kehidupan di sekitarmu, hitung pula dirimu sendiri, temukan kemuliaan di sekitarmu. Belajarlah membedakan mana kemuliaan dan mana kehinaan, amatilah mana orang yang luhur dan mana yang hina, mana yang derajatnya tinggi dan mana yang rendah. Pakailah mata Allah sebagai ukuran” (Emha Ainun Nadjib/Cak Nun) 
  4. ada yang bilang negeri ini “negeri selembar kertas”, masyarakat kita “masyarakat selembar ijazah”. silahkan ngomel sistem pendidikan kita tidak bermutu, kesempatan berpendidikan tidak paralel dengan kesempatan memperoleh kerja, atau canangkan proyek deschooling society (masyarakat tanpa sekolah), tapi pokoknya kalau ndak punya ijazah ya nasibnya lebih ndlahom (idiot, goblok, otak tak berisi) dibanding dengan yang punya ijazah (Emha Ainun Nadjib/Cak Nun) 
  5. agama diajarkan kepada manusia agar ia memiliki pengetahuan dan kesanggupan untuk menata hidup, menata diri dan alam, menata sejarah, kebudayaan, politik …. Tuhan mengajarkan kreatifitas terlebih dahulu (Emha Ainun Nadjib/Cak Nun) 
  6. agama mengajarkan kepada manusia bagaimana menumbuhka iman, menyusun pola-pola pembangunan suatu negeri, mengatur politik dan ekonomi, termasuk juga mengintensifkan bidang-bidang pendidikan pada level mana pun sedemikian rupa sehingga sedikit peluang bagi anggota masyarakat untuk mengalami kekecewaan sosial ekonomi serta kebingungan psikologis (Emha Ainun Nadjib/Cak Nun) 
  7. anak-anak muda tak bisa hanya menggantungkan diri akan jadi pegawai negeri, pembengkakan populasi penduduk akan makin berbanding terbalik dengan penyediaan lapangan kerja, jadi yang akan tegak hidupnya adalah orang-orang yang bermental wiraswasta, yang tidak priyayi, yang ulet dan bersedia bekerja keras (Emha Ainun Nadjib/Cak Nun) 
  8. Anda tak bisa menghakimi ekspresi seseorang hanya dengan melihat bunyi kata-katanya, melainkan Anda harus perhatikan nadanya, nuansanya, letak masalahnya (Emha Ainun Nadjib/Cak Nun) 
  9. aneh : hukum negara bertabrakan dengan hak dasar kemanusiaan, dan keduanya telah tiba pada kondisi purik (saling membenci) yang susah disembuhkan. Tetapi, jalan terang tetap terlihat, setidak-tidaknya di cakrawala pandangan setiap orang yang tak mengenal putus asa 
  10. apa gunanya ilmu kalau tidak memperluas jiwa seseorang sehingga ia berlaku seperti samudera yang menampung sampah-sampah? Apa gunanya kepandaian kalau tidak memperbesar kepribadian manusia sehingga ia makin sanggup memahami orang lain? (Emha Ainun Nadjib/Cak Nun) 
  11. bukan agama kalau turun ke bumi hanya untuk pandai memerintah dan melarang. Sebelum Adam dilarang makan buah khuldi, dia diberi pelajaran terlebih dahulu mengenai “nama benda-benda”, mengenai segala yang mesti diketahuinya dalam kehidupan (Emha Ainun Nadjib/Cak Nun) 
  12. bukanlah hidup kalau sekadar untuk mencari makan, bukankah sambil bekerja seseorang bisa merenungkan suatu hal, bisa berzikir dengan ucapan yang sesuai dengan tahap penghayatan atau kebutuhan hidupnya, bisa mengamati macam-macam manusia, bisa belajar kepada sebegitu banyak peristiwa… Bisa menemukan hikmah-hikmah, pelajaran dan kearifan yang membuat hidupnya semakin maju dan baik (Emha Ainun Nadjib/Cak Nun) 
  13. dalam pengadilan di Indonesia, kadang kita harus memilih alternatif yang terbaik di antara yang terkutuk, dengan menyisakan sedikit harapan bahwa hati nurani manusia tidak semuanya terdiri atas buku (Emha Ainun Nadjib/Cak Nun) 
  14. demokrasi itu penuh ironi dan ranjau kalau manusia tak menguasai manajemen untuk menggunakannya, demokrasi hanya bisa menjawab beberapa problem hidup, tapi problem yang lain membutuhkan nilai yang lebih tinggi daripada demokrasi (Emha Ainun Nadjib/Cak Nun) 
  15. dunia ini masih dipimpin oleh orang yang lebih memilih kenyang meskipun dijadikan budak daripada lapar tapi bertahan harga dirinya (Emha Ainun Nadjib/Cak Nun) 
  16. hakikat hidup bukanlah apa yang kita ketahui, bukan buku-buku yang kita baca atau kalimat-kalimat yang kita pidatokan, melainkan apa yang kita kerjakan, apa yang paling mengakar di hati, jiwa dan inti kehidupan kita (Emha Ainun Nadjib/Cak Nun) 
  17. hidup ini sangat luas dan dimensi-dimensi persoalannya tak terhingga, untuk itu diperlukan bukan sekadar wawasan yang luas dan pengetahuan yang terus dicari melainkan juga kearifan dan sikap luhur yang konsisten dari hari ke hari (Emha Ainun Nadjib/Cak Nun) 
  18. jiwanya seniman itu bagaikan ruang kosong, tak ada lemari atau kotak-kotak yang bisa dipakai untuk menyembunyikan sesuatu, segalanya tampak jelas dan jujur di mata (Emha Ainun Nadjib/Cak Nun) 
  19. kalau kita jadi negara industri tidak berarti bahwa segalanya akan beres, tak berarti kita akan terbebas dari kemiskinan, kebodohan atau kekejaman kekuasaan. Industri hanyalah sebuah cara di antara kemungkinan cara-cara lain yang dianggap bisa membantu menyejahterakan masyarakat 
  20. kalau para mahasiswa bercita-cita hendak menjadi pemimpin bangsa, sejak sekarang harus berlatih menampung bermacam-macam gejala manusia, di dalam pergaulan mereka tidak boleh memakai kerangka “menang-kalah” apalagi memakai interes egonya belaka, melainkan mempertimbangkan kepentingan bersama, dan untuk itu diperlukan kesabaran dan kearifan terhadap berbagai kemungkinan yang muncul dari “rakyat” mereka, tidak boleh gemedhé (merasa paling pintar, sombong) (Emha Ainun Nadjib/Cak Nun) 
  21. kalau seseorang bersikap kreatif untuk menemukan apa saja hal baik yang bisa dikerjakan dalam hidup ini, jam-jamnya tidak akan sempat ia gunakan untuk sedih atau meratap, sebab sudah habis untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang baik (Emha Ainun Nadjib/Cak Nun) 
  22. kalau seseorang menjadi pemimpin, ia tak sekadar memimpin masyarakat manusia, tapi juga memimpin masyarakat makhluk yang luas, ia memimpin hak-hak binatang, hutan, lautan, barang tambang …. di situlah antara lain terletak kesalahan ideologi pembangunan modern yang merusak alam, bahkan merusak manusia (Emha Ainun Nadjib/Cak Nun) 
  23. kata ahli pedang, ilmu pedang tertinggi adalah kalau sudah bisa membelah kapas yang melayang-layang tanpa mengubah arah gerak kapas itu. Aneh, ujian tertinggi bagi keahlian pedang bukanlah baja atau batu karang melainkan kapas. Kekerasan yang telah mencapai puncaknya berubah menjadi kelembutan, kelembutan tak bisa dikalahkan oleh kekerasan (Emha Ainun Nadjib/Cak Nun) 
  24. kearifan-kearifan agama harus diterjemahkan ke dalam sistem nilai pengelolaan sejarah, kebudayaan dan peradabannya (Emha Ainun Nadjib/Cak Nun) 
  25. kebanyakan orang tak bisa tidur, mereka hanya tertidur, karena sepanjang siang dan malam hari mereka diberati oleh dunia (Emha Ainun Nadjib/Cak Nun) 
  26. kebersihan luas makananya, kebersihan ruang dan kampung hanyalah satu hal, hal lain adalah kebersihan jiwa manusia itu sendiri, kebersihan pergaulan antarmanusia, baikpergaulan sosial, pergaulan ekonomi, pergaulan politik dan hukum (Emha Ainun Nadjib/Cak Nun) 
  27. keceriaan dan kenyamanan hidup tidak terlalu bergantung pada hal-hal di luar manusia melainkan bergantung pada kekayaan batin di dalam diri manusia (Emha Ainun Nadjib/Cak Nun) 
  28. kematian terkadang merupakan kritik terhadap kehidupan, Tuhan mengambil nyawa seseorang tak semata dalam rangka menyayangi orang itu tapi juga sekaligus memberi peringatan kepada semua yang ditinggalkan oleh almarhum (Emha Ainun Nadjib/Cak Nun) 
  29. kreatifitas berpikir orang Barat harus kita tiru,tapi ekses dari kebudayaan teknologis yang terlalumemanjakan kebinatangan, sebaiknya kita cegah sejak sekarang.Setiap badan perencanaan pembangunan harus melibatkan para agamawan, budayawan, negarawan, filosof, seniman,orang-orang kecil awam yang arif…. Kita jangan hanya dipimpin oleh tender-tender 
  30. manusia diberi-Nya kesanggupan untuk beradaptasi terhadap bermacam situasi, manusia dikasih-Nya darah, naluri dan kecerdasan agar ia tetap saja mampu menyelenggarakan kebahagiaan, meskipun dengan suku cadang yang terendah nilainya ia bisa menghasilkan ramuan kebahagiaan yang jauh melebihi taraf kebahagiaan yang dirajut dengan kemewahan (Emha Ainun Nadjib/Cak Nun) 
  31. manusia harus jernih memandang dan menilai sesuatu, boleh pakai cara pandang kelas, boleh agak hitam-putih tentang masalah tertentu, tapi harus selalu dikembalikan pada kerangka pandang yang lebih universal, yang melihat manusia sebagai suatu keutuhan, yang memiliki kelebihan dan kekurangan, benar sekaligus salah (Emha Ainun Nadjib/Cak Nun) 
  32. manusia jangan menunggu hancur dulu baru insaf (Emha Ainun Nadjib/Cak Nun) 
  33. menyepi itu penting, supaya kamu benar-benar bisa mendengar apa yang menjadi isi dari keramaian 
  34. orang boleh kaya raya, persoalannya bagaimana kekayaan itu diperoleh, kemudian bagaimana sikapnya terhadap kekayaan tersebut. Juga kalau miskin! (Emha Ainun Nadjib/Cak Nun) 
  35. orang boleh salah, agar dengan demikian ia berpeluang menemukan kebenaran dengan proses autentiknya sendiri (Emha Ainun Nadjib/Cak Nun) 
  36. orangtua kita mengajarkan suatu nilai yang membedakan dua jenis anak, yang patuh tanpa reserve, yang pejah gesang nderek (hidup-mati ikut), disebut “anak baik-baik”, sedangkan yang mencoba rasional, memilih otoritasnya, meskipun itu justru sejalan dengan “lorong keadilan” disebut “anak nakal” 
  37. para pekerja agama tidak mengantarkan hakikat Tuhan sebagai Mahasubjek yang penuh rasa cinta, rasa sayang dan kesediaan tanpa batas untuk membahagiakan manusia (Emha Ainun Nadjib/Cak Nun) 
  38. peraturan dan undang-undang tidak slalu sama dengan keadilan, ia bahkan bisa saja bertentangan denganprinsip keadilan. Undang-undang memiliki relativitasnya sendiri dan tidak mutlak sebagaimana firman Tuhan (Emha Ainun Nadjib/Cak Nun) 
  39. perjuangan ialah perjuangan. Sejarah dan Tuhan tidak mencatat kemenangan atau kekalahan, tetapi yang dicatat adalah perjuangan itu sendiri (Emha Ainun Nadjib/Cak Nun) 
  40. politik diciptakan dan dimanifestasikan berdasarkan filosofi dan tujuan untuk menyediakan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi manusia, tapi yang terjadi adalah sama sekali kebalikannya (Emha Ainun Nadjib/Cak Nun) 
  41. secara filosofis, sesungguhnya tak ada “orang besar” dan tak ada “orang kecil” dalam takaran pemilikan ekonomi atau perbedaan status sosial budaya. Kecil dan besar hanya terjadi pada kualitas kepribadian (Emha Ainun Nadjib/Cak Nun) 
  42. Tuhan banyak diperkenalkan oleh pemimpin-pemimpin agama sebagai “algojo” yang kejam, “polisi” yang selalu curiga atau “hantu” yang kehadirannya di hati manusia selalu menimbulkan rasa waswas, cemas, ngeri dan penuh ancaman. Agama kurang diperkenalkan sebagai berita gembira dan janji cinta, melainkan sebagai tukang cambuk, pendera dan satpam yang otoriter (Emha Ainun Nadjib/Cak Nun) 
  43. yang menguasai dunia adalah ketelamjuran sistem-sistem internasional yang merupakan lingkaran setan yang memenjarakan manusia, terutama orang-orang kecil. Apalagi sistem-sistem besar itu tidak sungguh-sungguh untuk manusia dan kemanusiaan, tetapi untuk mitos-mitos yang bernama kemajuan, modernisasi, metropolitanisasi, yang keseluruhannya menjebak manusia dalam ketersesatan filosofi, keterjerembaban politik dan ekonomi serta kebuntuan budaya (Emha Ainun Nadjib/Cak Nun) 
  44. yang penting bukan apakah kita menang ataukalah, Tuhan tidak mewajibkan manusia untuk menang sehingga kalah pun bukan dosa, yang penting adalah apakah seseorang berjuang atau tak berjuang

http://kajianislam.wordpress.com/2007/08/03/emha-ainun-nadjib-gusti-allah-tidak-ndeso/
http://daunhijau.com/2013/08/emha-ainun-nadjibcak-nun-kutipan/