Sabtu, 23 November 2013

Kidung Rumekso Ing Wengi






MENATAP zaman edan yang begitu menyengsarakan sendi-sendi kehidupan rakyat, hidup serba tidak menentu, semuanya serba sulit menentukan sikap, serta tidak ada fundamen keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang benar dan kokoh, sebenarnya sudah diantisipasi nenek moyang kita jauh hari sebelum hal itu terjadi. Orang-orang yang Waskita ”wong kang limpad ing budi” (orang-orang yang mampu membaca tanda jaman).

Salah satu alternatif dari sumbangan orang Jawa menghadapi jaman edan ialah membaca ”Kidung Rumekso Ing Wengi”(KRIW), yang merupakan karya Sunan Kalijaga sehabis sembahyang malam, kidung ini sudah terkenal di wilayah Nusantara dan sering dilantunkan di pedesaan pada pertunjukkan ketoprak, wayang kulit dll atau peronda di malam hari yang sunyi.

Bait yang utama dari KRIW itu sangat dikenal karena berisi mantra tolak balak, sedangkan bait selanjutnya yang berjumlah delapan jarang dinyanyikan karena dianggap terlalu panjang.

Laku kidung ini mengingatkan manusia agar mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga terhindar dari kutukan dan malapetaka yang lebih dahsyat. Dengan demikian kita dituntut untuk senantiasa berbakti, beriman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Sedangkan fungsi kidung secara eksplisit tersurat dalam kalimat kidung itu, yang antara lain; Penolak balak di malam hari, seperti teluh, santet, duduk, ngama, maling, penggawe ala dan semua malapetaka. Pembebas semua benda . Pemyembuh penyakit, termasuk gila. Pembebas pageblug. Pemercepat jodoh bagi perawan tua. Menang dalam perang . Memperlancar cita-cita luhur dan mulia.




Kidung Rumeksa Ing Wengi
----------------------------


Ana kidung rumekso ing wengi
Teguh hayu luputa ing lara
luputa bilahi kabeh
jim setan datan purun
paneluhan tan ana wani
niwah panggawe ala
gunaning wong luput
geni atemahan tirta
maling adoh tan ana ngarah ing mami
guna duduk pan sirno

Sakehing lara pan samya bali
Sakeh ngama pan sami mirunda
Welas asih pandulune
Sakehing braja luput
Kadi kapuk tibaning wesi
Sakehing wisa tawa
Sato galak tutut
Kayu aeng lemah sangar
Songing landhak guwaning
Wong lemah miring
Myang pakiponing merak

Pagupakaning warak sakalir
Nadyan arca myang segara asat
Temahan rahayu kabeh
Apan sarira ayu
Ingideran kang widadari
Rineksa malaekat
Lan sagung pra rasul
Pinayungan ing Hyang Suksma
Ati Adam utekku baginda Esis
Pangucapku ya Musa

Napasku nabi Ngisa linuwih
Nabi Yakup pamiryarsaningwang
Dawud suwaraku mangke
Nabi brahim nyawaku
Nabi Sleman kasekten mami
Nabi Yusuf rupeng wang
Edris ing rambutku
Baginda Ngali kuliting wang
Abubakar getih daging Ngumar singgih
Balung baginda ngusman

Sumsumingsun Patimah linuwih
Siti aminah bayuning angga
Ayup ing ususku mangke
Nabi Nuh ing jejantung
Nabi Yunus ing otot mami
Netraku ya Muhamad
Pamuluku Rasul
Pinayungan Adam Kawa
Sampun pepak sakathahe para nabi
Dadya sarira tunggal



Terjemahan dalam bahasa indonesia:

Ada kidung rumekso ing wengi. Yang menjadikan kuat selamat terbebas
dari semua penyakit. Terbebas dari segala petaka. Jin dan setanpun
tidak mau. Segala jenis sihir tidak berani. Apalagi perbuatan jahat.
guna-guna tersingkir. Api menjadi air. Pencuripun menjauh dariku.
Segala bahaya akan lenyap.

Semua penyakit pulang ketempat asalnya. Semua hama menyingkir dengan pandangan kasih. Semua senjata tidak mengena. Bagaikan kapuk jatuh dibesi. Segenap racun menjadi tawar. Binatang buas menjadi jinak. Pohon ajaib, tanah angker, lubang landak, gua orang, tanah miring dan sarang merak.

Kandangnya semua badak. Meski batu dan laut mengering. Pada akhirnya semua slamat. Sebab badannya selamat dikelilingi oleh bidadari, yang dijaga oleh malaikat, dan semua rasul dalam lindungan Tuhan. Hatiku Adam dan otakku nabi Sis. Ucapanku adalah nabi Musa.

Nafasku nabi Isa yang teramat mulia. Nabi Yakup pendenganranku. Nabi Daud menjadi suaraku. Nabi Ibrahim sebagai nyawaku. Nabi sulaiman
menjadi kesaktianku. Nabi Yusuf menjadi rupaku. Nabi Idris menjadi
rupaku. Ali sebagai kulitku. Abubakar darahku dan Umar dagingku.
Sedangkan Usman sebagai tulangku.

Sumsumku adalah Fatimah yang amat mulia. Siti fatimah sebagai
kekuatan badanku. Nanti nabi Ayub ada didalam ususku. Nabi Nuh
didalam jantungku. Nabi Yunus didalam otakku. Mataku ialah Nabi
Muhamad. Air mukaku rasul dalam lindungan Adam dan Hawa. Maka
lengkaplah semua rasul, yang menjadi satu badan.


Syair tersebut adalah bait pertama dari tembang macapat “Dandang Gula” karya kanjeng Sunan Kalijogo dari keseluruhan tembang yang berjumlah lima bait yang berjudul KIDUNG RUMEKSO ING WENGI. Keseluruhan tembang ini mengandung doa keselamatan secara umum, dengan bertawashul pada kemuliaan para Nabi dan Rasul, serta khulafaur-rashyidin dan auliya (para wali).

Sebuah ulasan dalam buku best seller yang ditulis seorang sarjana agronomi, Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga (2003) karya Achmad Chodjim, dengan memikat telah menghadirkan makna kidung yang juga bisa berarti sabda atau firman, sebagai teknik membangkitkan konsentrasi dan kekuatan pikiran. Menurut Chodjim, kata-kata yang tertata rapi di dalam sebuah doa, sebenarnya untuk menjadi titik perhatian dan tujuan dari pelafal doa. Titik perhatian inilah yang akan membangkitkan konsentrasi dan dengan itu menjelmakan kekuatan pikiran.

Mengacu kepada Michael Talbot dalam Mysticism and The New Physics: Beyond Space-Time, Beyond God, To The Ultimate Cosmic Consciousness (1981), Chodjim memaparkan bahwa kekuatan pikiran dapat menghasilkan sebuah medan biogravitasi (gravitasi makhluk hidup) yang dapat berinteraksi dengan dan mengubah medan gravitasi yang mengendalikan materi. Teori ini terbuktikan oleh populernya kidung gubahan Sunan Kalijaga sebagai penolak bala kejahatan yang dilakukan malam hari. Mulai dari kejahatan “masuk akal” seperti pencurian, sampai yang disebut gaib seperti sihir, teluh, santet, yang tentunya dipercaya keberadaannya pada masa kehidupan Sunan Kalijaga.

Chodjim menyampaikan kisah nyata, bahwa kidung ini masih berfungsi di desa pada masa kini demi kebutuhan praktis, misalnya mengusir hama tikus. Dikisahkan bahwa pelafal doa berpuasa 24 jam, makan sahur dan buka tengah malam, lalu kidung Rumeksa ing Wengi ini dibaca sambil mengelilingi pematang sawah atau ladang. Alhasil, tikus benar-benar tidak datang ke sawah tersebut. Perhatikan, bukan tikus mati di mana-mana, melainkan sekadar tidak datang. Menurut Chodjim, doa memang bukan untuk merusak, tetapi menjaga harmoni alam. Disebutkan dengan tegas sebagai doa, bukan sihir atau mantra negatif – dan yang disebut doa secara sungguh-sungguh memiliki kesakralan dan kesucian.



Adapun hubungan fakta atas kidung Rumeksa ing Wengi dan reputasi Sunan Kalijaga sebagai pendakwah, agama Islam diperkenalkan Sunan Kalijaga tidak sebagai formalitas yang kaku. Dalam perbincangan bait-bait selanjutnya dari kidung tersebut yang terlalu panjang dikutip di sini, Chodjim menekankan betapa Sunan Kalijaga mementingkan terbangunnya keyakinan dalam beragama daripada hafalan atas doa-doa itu sendiri, dan karena orang Jawa abad XV tidak mudah mengucapkan apalagi memahami bahasa Arab, dalam memperkenalkan orang Jawa terhadap keindahan dan kebesaran beragama, Sunan Kalijaga mengacu alam pikiran Jawa masa itu.

Dalam disertasi yang ditulis seorang pemuda 29 tahun pada 1935, Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa, disebutkan bahwa di antara para wali, ajaran Sunan Kalijaga adalah “yang paling orisinil.” Pemuda itu, P.J.Zoetmulder, yang kelak terkenal sebagai mahapakar Jawa Kuno, mengambil kesimpulannya antara lain setelah memeriksa Serat Wirid yang ditulis Ranggawarsita, yang berisi ajaran-ajaran para tokoh yang secara bersama disebut sebagai Walisanga, para pendakwah yang menyebarkan Islam di tanah Jawa pada abad XV.

Seperti apakah ujudnya orisinalitas itu, dan mengapa orisinalitas harus dianggap penting? Rupa-rupanya, dalam penyebaran agama Islam, kecenderungan Sunan Kalijaga untuk peduli kepada konteks lokal di tempat ia berdakwah sangat dimaknai sampai hari ini. Namun sebelum sampai ke sana, mungkin baik kita ikuti kembali “sastra lisan” tentang proses kewalian Sunan Kalijaga, yang jangan dicari kefaktaannya melainkan makna yang berada di balik kisah itu. Historiografi Jawa sulit dibaca seperti membaca buku sejarah modern -karena itu harus selalu diterima sebagai materi untuk ditafsirkan kembali.

Sebenarnya kalau diperhatikan dengan seksama, melalui tembang ini Sunan Kali Jaga bermaksud mengajarkan dan mengajak manusia agar terjaga dimalam hari, lalu kemudian melakukan ritual ibadah dan melantunkan tembang (yang dimaksud adalah melakukan Qiyamul-lail dan melantunkan ayat-ayat ALLAH SWT). Karena ritual dimalam hari memiliki fadhilah yang luar biasa dan kesan khusus yang dapat menggetarkan hati sebagaimana termaktub dalam Alqur’anul Kariim berikut ini.

Dan pada sebahagian malam hari bertahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu, mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji. Dan katakanlah: "Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara benar dan keluarkanlah (pula) aku secara benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuatan yang menolong. Dan katakanlah: "Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap". Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap. Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian. (QS 17 Al-Isro’: 79-82).

“Dan bangunlah (untuk qiyamul-lail) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit. atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan” (QS 73 Al-Muzammil : 2-6).
Itulah konsep yang hendak dikenalkan kepada masyarakat jawa. Hanya saja waktu itu, bahasa arab sangatlah asing ditelinga orang jawa, maka Kanjeng Sunan Kali Jaga menggubahnya menjadi syair sebuah tembang jawa yang syarat dengan pesan dan makna spiritual. Sungguh pemikiran yang sangat cerdas dan intuitif dalam melihat peluang dakwah. Beliau mampu membaur dengan masyarakat namun mampu berbeda (mukhtalithun walakin mutamayyiziin). 

Namun sayangnya, pesan dan makna dibalik tembang tidak dipahami oleh masyarakat secara utuh. Hanya beberapa saja yang memahami lalu kemudian ter-“shibghah” (terwarnai) dengan hidayah ALLAH akhirnya sadar dan menjadi orang-orang yang taat dan sholih. Tapi, banyak juga yang hanya memahami tembang itu sebagai tembang yang memiliki kekuatan magis tanpa memahami hakekatnya (persis seperti orang memahami bahwa seni untuk seni, ilmu untuk ilmu, hidup untuk hidup dsb.). Sehingga, tidak sedikit pula orang yang tersesat lantaran tembang tersebut, dan tak sedikit pula orang yang tersesat dalam memahami hakekat seni, ilmu dan hidup. Persoalannya bukan pada materi yang terkandung dalam tembang itu sendiri, tapi kegagalan meng-kontekstualkan maknanya. 
 
Nah, terkait dengan hal-hal yang sifatnya mistis, magis atau ghoib yang ditimbulkan oleh tembang tersebut, sering kali masyarakat awam terkecoh dengan bermacam-macam pemahaman yang berkembang disekitarnya. Hal ini disebabkan tiga hal antara lain; kurang komprehensif (lengkap)nya informasi mengenai masalah ghoib tersebut, kurangnya ilmu atau referensi yang dimiliki, keinginan (nafsu) yang menggebu untuk meraih apa yang diinginkan secara instan. Ketiga hal itulah sebagai pembangun pemahaman yang fundamental. Kegagalan dalam tiga hal tersebut akan berdampak pada kegagalan meng-kontekstualisasikan pemahaman terhadap masalah ghoib dalam kehidupannya. Walhasil, keimanannya akan menjadi goyah dan dipertaruhkan untuk mendapatkan apa yang diinginkan.

Contoh kongkretnya, ketika seseorang pedangang ingin mendapatkan keuntungan dari dagangannya, sementara ilmu untuk berdagang kurang (termasuk pengetahuan untuk mencari kemungkinan peluang dan strategi yang logis dan syar’i juga terbatas), didukung dengan pemahaman tentang masalah ghoib yang sangat kurang, plus keinginan dan dorongan nafsu untuk mendapatkan keuntungan yang besar secara instan sangat kuat. Maka, kemungkinannya adalah dia akan berbuat curang, atau ia akan pergi ke dukun penglaris. Tentu masih banyak orang-orang yang semacam ini dimasyarakat kita. Bahkan mereka menganggap bahwa pergi ke dukun, paranormal, orang “pintar” atau sejenisnya adalah bagian dari ikhtiar atau usaha untuk menggapai kesuksesan. Dan menganggap bahwa dukun atau paranormal memiliki karomah yang dapat membantu mereka dalam menyelesaikan masalah, salah satunya adalah melakukan ritual mistis dengan melantunkan tembang diatas dikesunyian malam untuk memanggil “roh halus” guna dimintai pertolongan.

Nah, ada informasi yang terputus (atau memang orang awam tidak berusaha mencari bagian yang terputus itu) antara pesan yang hendak disampaikan oleh Kanjeng Sunan Kali Jaga pada masyarakat Jawa melalui tembang tersebut. Sehingga, seharusnya spirit atau semangat menghidupkan malam dengan Qiyamul-lail dan bacaan Al-qur’an itulah yang diamalkan, sehingga mampu menjadi penjaga malam, penawar/obat bagi yang sakit, pembuka pintu rejeki, penolak bala’, menenangkan hati yang gundah, meneguhkan kedudukan dan izzah orang-orang muslim. Akan tetapi, yang tertinggal hanyalah aura mistis yang diciptakan sendiri dengan menanggalkan pesan spiritual yang mendalam dari sang Kanjeng Sunan. Maka, tak bisa dipungkiri lagi jika kemudian Syetan dan Jin kafir benar-benar menjadikkannya teman dan sarana untuk ber-khalwat untuk meminta bantuannya. Akhirinya, manusia yang menjadikan Jin dan Syetan sebagai teman dan penolongnya (termasuk dukun dan paranormal), ia akan tertipu dan semakin tersesat sejauh-jauhnya.

Secara tersurat teks “Kidung Rumeksa Ing Wengi” memiliki fungsi, antara lain: (1) menolak bala pada waktu malam hari, seperti teluh, duduk, ngama, maling, panggawe ala, guna-guna, dan kabeh bilahi; (2) mengurungkan atau membebaskan dari denda; (3) menyembuhkan berbagai penyakit, termasuk edan atau gila; (4) membebaskan diri dari pageblug atau wabah penyakit; (5) mempercepat jodoh perawan tua; (6) memenangkan perang, pertempuran; (7) menghilangkan hama padi, seperi tikus, wereng coklat, walang sangit, dan keong sawah; serta (8) memperlancar mencapai cita-cita luhur dan mulia.

Fungsi tersebut akan tercapai (terwujud) apabila disertai laku atau perbuatan yang sesuai dengan tujuan atau harapan yang dikehendakinya, antara lain sebagai berikut.

 
  • Sebagai penolak bala agar terhindari dari semua malapetaka atau bencana adalah dengan cara melakukan sembahyang tengah malam, lalu membacakan atau mendendangkan kidung tersebut sebanyak sebelas kali (kata sebelas dalam bahasa Jawa berasal dari kata sewelas, maknanya agar mendapat kawelasan “belas kasih Tuhan”). Hal ini hendaknya dilakukan secara rutin setiap malam, kalau perlu sampai empat puluh malam. 
  • Bersesuci dengan cara mandi air tujuh sumur (jika banyak) atau dapat juga diminum (jika sedikit) yang telah dibacai kidung untuk dapat menyembuhkan segala penyakit, membebaskan dari denda, dan mempercepat mendapatkan jodoh bagi perawan atau jejaka tua. 
  • Memakan nasi tiga genggam yang telah dibacai kidung untuk dapat memenangkan peperangan atau pertempuran di mana pun. 
  • Berpuasa sehari semalam disertai membaca kidung di tengah malam dengan cara mengelilingi rumah agar pencuri, perampok, orang berbuat jahat, teluh, duduk, guna-guna sakti jauh darinya; atau dapat juga berkeliling pematang sawah sambil membaca kidung agar hama dan pencuri tanaman padi jauh darinya. 
  • Berpuasa gonyu (sego lan banyu “nasi dan air”) selama empat puluh hari empat puluh malam dengan disertai setiap malamnya membaca kidung sebelas kali agar tercapai cita-cita luhur dan mulia. 

Selain hal di atas, kedua kidung juga memiliki kesejajaran: 
(1) sebagai media dakwah yang dirangkaikan dalam bentuk kidung, bermatra tembang dhandhanggula atau sekar macapat Jawa baru; 
(2) ditulis oleh orang yang dianggap suci oleh umat atau warganya, yaitu Sunan Kalidjaga dan R. Soenarto Mertowardojo; 
(3) memiliki fungsi sebagai penolak bala pada zaman edan yang sedang merajalela dengan cara memohon bantuan kekuasaan Tuhan yang Maha Kuasa; 
(4) mengajarkan kepada umat (warga)-nya agar memiliki kebaktian, keimanan, ketakwaan, dan berwatak keutamaan yang menuju ke arah kemuliaan dan keluhuran budi; dan 
(5) menuntun serta mengarahkan semua umat manusia agar kembali kepada jalan kebenaran, yakni jalan keutamaan yang ditunjukkan dengan benar oleh Tuhan melalui nabi, wali, aulia, atau orang-orang suci.

Meskipun kita sekarang hidup di era globalisasi dengan kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi yang penuh dengan hal-hal rasional, tetap saja kekuatan gaib, daya magis, dan nilai-nilai sakral masih membelenggu kehidupan kita sehari-hari di dunia ini. Kekuatan gaib dan daya magis yang terdapat pada kedua kidung tersebut masih terasa memiliki daya pukau yang mampu menyihir kita semua sehingga takhluk dan bertekuk lutut dihadapan yang Maha Gaib.

 “Kidung Rumeksa Ing Wengi” mampu menghimpun semua kekuatan malaikat, nabi-rasul, serta orang tua, sahabat, anak, dan istri nabi-rasul ke dalam satu kekuatan yang maha dahsyat melawan keangkara-murkaan, jim setan, paneluhan, guna duduk, maling, sato galak, dan lemah sangar. Sementara itu, “Kidung Suci” mampu menghimpun kekuatan pangastuti “sembah sujud hamba ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa” dalam melawan dhemit ingkang tindhak dur, kang rubeda tentreming bumi, kasektene diyu kang pinunjul mangkrak krura ngisis jatha, dan kang rawe-rawe rantas kang malang-malang putung “hantu yang berbuat jahat, mereka yang mengganggu ketentraman dunia, kesaktian raksasa yang berlebihan dengan berteriak buas marah menunjukkan gigi taringnya, dan mereka yang menghalangi, merintangi, menghadang, dan menghambat” akan sirna, hancur lebur tanpa bekas. 

Semua diserahkan atas kekuasaan, keagungan, keadilan, dan kebijaksanaan Tuhan Yang Maha Esa yang lebih berkuasa atas segenap makhluknya. Ungkapan bahasa Jawa: Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti “kekuasaan, keberanian, ketangguhan, dan keunggulan dunia dapat hancur lebur oleh doa dan sembah sujud sembahyang kepada Tuhan Yang Maha Esa”.

Kedua kidung sakti di atas menunjukkan tema yang sama sebagai penolak bala pada kekuasaan zaman edan, kalabendu, kalatidha, dan jaman retu. Napas keislaman atau kesufian tampak mewarnai kedua kidung di atas. “Kidung Rumekasa Ing Wengi” mulai bait ketiga dan seterusnya menyebut asma Allah, Malaikat, Nabi-Rasul (Adam, Esis, Musa, Isa, Yakub, Yusuf, Daud, Sulaiman, Ibrahim, Idris, Nuh, Ayub, Yunus, dan Muhammad), sahabat nabi (Baginda Ali, Abu Bakar, Umar, Usman), anak nabi (Fatimah), ibu nabi (Siti Aminah), dan nama seorang wali sanga di Jawa (Sunan Kalidjaga). Selain nama-nama tokoh Islam, dalam “Kidung Rumeksa Ing Wengi” juga kita temukan penggunaan register (idiom) yang sering digunakan dalam dunia keislaman, seperti kata puwasa (puasa), subuh, sabar, sukur (syukur), insya Allah, date (dzatnya), malaikat, nabi, rasul, dan Adam sarak (Hukum Adam, Adam Makrifat).

Tradisi penulisan kidung dalam sastra Jawa tradisional tidak hanya berhenti pada abad XVI Masehi, tetapi hingga abad XX Masehi pun masih ada yang menulisnya. Penulis kidung tidak sembarang orang, tetapi orang yang terpilih dan berderajat suci, seperti wali atau aulia. Meskipun tradisi kidung sudah lama ada dan sudah mulai ditinggalkan oleh para generasi muda Jawa, perlu kiranya kidung tetap dilestarikan untuk menjaga kesinambungan sebuah kebudayaan tradisi yang adiluhung dan edipeni. Kandungan makna yang begitu mendalam, bersifat sufistik atau religiusitas yang berakar pada ajaran keislaman, bahkan mengandung mantra penolak bala, kidung tersebut mampu memberi tuntunan hidup bagi pembacanya. Ada nilai-nilai warna kearifan lokal budaya Jawa yang terdapat dalam dua kidung itu juga mampu mengemban misi sebagai pembentukan karakter bangsa yang lebih beradab dan bermartabat, yakni berbudi pekerti luhur dan mulia.

1. Teks “Kidung Rumeksa Ing Wengi”

KIDUNG RUMEKSA ING WENGI



1) Ana kidung rumeksa ing wengi
teguh hayu luputa ing lara
luputa bilahi kabeh
jim setan datan purun
paneluhan tan ana wani
miwah panggawe ala
gunane wong luput
geni atemahan tirta
maling adoh tan ana ngarah mring mami
guna duduk pan sirna.

2) Sakabehing lara pan samya bali
sakeh ngama pan sami miruda
welas asih pandulune
sakehing braja luput
kadi kapuk tibaning wesi
sakehing wisa tawa
sato galak tutut
kayu aeng lemah sangar
songing landak guwaning wong lemah miring
myang pokiponing merak.

3) Pagupakaning warak sakalir
nadyan arca myang segara asat
temahan rahayu kabeh
apan sarira ayu
ingideran sang widadari
rineksa malaekat
sakatahing rasul
pan dadi sarira tunggal
ati Adam utekku bagendha Esis
pangucapku ya Musa.

4) Napasku nabi Ngisa linuwih
nabi Yakub pamiyarsaningwang
Yusup ing rupaku mangke
nabi Dawut swaraku
jeng Suleman kasekten mami
nabi Ibrahim nyawaku
Edris ing rambutku
bagendha Li kulitingwang
getih daging Abu Bakar Ngumar singgih
balung bagendha Ngusman.

5) Sungsumingsun Patimah linuwih
Siti Aminah bayuning angga
Ayub ing ususku mangke
nabi Nuh ing jejantung
nabi Yunus ing otot mami
netraku ya Muhammad
pamuluku rasul
pinayungan Adam sarak
sampun pepak sakathahing para nabi
dadya sarira tunggal.

6) Wiji sawiji mulane dadi
apan pencar saisining jagat
kasamadan dening date
kang maca kang angrungu
kang anurat kang anyimpeni
dadi ayuning badan
kinarya sesembur
yen winacakna ing toya
kinarya dus rara tuwa gelis laki
wong edan nuli waras.

7) Lamun ana wong kadhendha kaki
wong kabanda wong kabotan utang
yogya wacanen den age
nalika tengah dalu
ping sewelas wacanen singgih
luwar saking kabanda
kang kadhendha wurung
aglis nuli sinauran
mring hyang Suksma kang utang puniku singgih
kang agring nuli waras.

8) Lumun arsa tulus nandur pari
puwasa sawengi sadina
iderana galengane
wacanen kidung iku
sakeh ngama sami abali
yen sira lunga perang
wateken ing sekul
antuka tigang pulukan
musuhira rep sirep tan ana wani
rahayu ing payudan.

9) Sing sapa reke bisa nglakoni
amutiya lawan anawaa
patang puluh dina bae
lan tangi wektu subuh
lan den sabar syukur ing ati
insya Allah tinekan
sakarsanireku
tumrap sanak rakyatira
saking sawabing ngelmu pangiket mami
duk aneng Kalidjaga.

(Serat Kidungan Warna-warni. Surakarta: Boedi Oetomo, 1919)

2. Terjemahannya dalam bahasa Indonesia kurang lebih sebagai berikut.

KIDUNG PENJAGA DI WAKTU MALAM

1) Ada kidung yang menjaga di waktu malam
kukuh selamat terbebas dari berbagai penyakit
terbebas dari semua malapetaka
jin setan kejahatan pun tidak berkenan
guna-guna pun tidak ada yang berani
juga perbuatan jahat
ilmu-ilmunya orang yang bersalah
api dan juga air
pencuri pun jauh tidak ada yang mengarah kepadaku
guna-guna sakti pun lenyap.

2) Segala penyakit pun bersama-sama kembali ke asal
berbagai hama pun terpaksa terkikis habis
dengan kasih sayang dipandang
terhindar dari semua senjata
seperti kapuk jatuhnya besi
semua bisa menjadi hambar
binatang buas pun menjadi jinak
kayu ajaib dan tanah keramat bahaya
relung landak guanya orang tanah miring
dan rumah tinggalnya merak.

3) Kandangnya segenap badak
walau batu-batu dan lautan kering
pada akhirnya semua selamat sejahtera
sebab berbadan jelita keselamatan
kelelilingi penuh bidadari
dijaga oleh para malaikat
juga segenap rasul
menyatu menjadi berbadan tunggal
hati Adam, otakku Baginda Sis
pengucapku ialah Musa.

4) Napasku mengalir Nabi Isa yang amat mulia
Nabi Yakub menjadi pendengaranku
Nabi Yusuf wajahku kini
Nabi Daud menjadi suaraku
Tuan Sulaiman menjadi kesaktianku
Nabi Ibrahim menjadi nyawaku
Nabi Idris dalam rambutku
Baginda Ali menjadi kulitku
Darah dagingku Abu Bakar dan Umar
Tulangku baginda Usman.

5) Sumsumku Fatimah yang amat mulia
Siti Aminah menjadi kekuatan badanku
Nabi Ayub kini ada dalam ususku
Nabi Nuh di dalam jantungku
Nabi Yunus di dalam ototku
penglihatanku ialah Nabi Muhammad
wajahku rasul
terlindungi oleh hukum Adam
sudah mencakupi seluruh para nabi
berkumpul menjadi badan yang tunggal.

6) Terjadinya berasal dari biji yang satu
sebab-musabab kemudian berpencar ke seluruh dunia
terimbas oleh dzat-Nya
yang membaca dan yang mendengarkan
yang menyalin dan yang menyimpan
menjadi selamat sejahtera badannya
sebagai sarana mengusir
jikalau dibacakan di dalam air
sarana mandi perawan tua cepat mendapat jodoh
orang gila pun cepat sembuh.

7) Apabila ada orang yang didenda, wahai cucuku
orang yang dihimpit keberatan hutang-piutang
seyogyanya engkau membaca dengan segera
pada waktu tengah malam hari
bacalah dengan sungguh-sungguh sebelas kali
terbebas dari jeratan
yang didenda pun urung
lekas kemudian terbayarkan
yang berhutang itu sungguh oleh Tuhan
yang sakit pun segera mendapat kesembuhan.

8) Jikalau akan lancar menanam padi
berpuasalah sehari semalaman
kelilingilah pematangnya
bacalah kidung ini
semua hama bersama-sama kembali ke asal
apabila engkau pergi berperang
bacakanlah ke dalam nasi
dapatkan tiga suapan
musuhmu tersihir tidak ada yang berani
selamat engkau di medan perang.

9) Siapa pun yang dapat melaksanakan
berpuasa mutih hanya (minum) air dan (makan) nasi
empat puluh hari saja
dan bangun pada waktu subuh
lalu berlaku sabar serta bersyukur di dalam hati
insya Allah dapat tercapai
atas izin kehendak Allah
bagi semua sanak-saudaramu
oleh daya kekuatan ilmu pengikatku
pada waktu berada di Kalijaga.

(Serat Kidungan Warna-warni. Surakarta: Boedi Oetomo, 1919)

“…..Sesungguhnya mereka (orang-orang yang tersesat) menjadikan syaitan-syaitan pelindung (mereka) selain Allah, dan mereka mengira bahwa mereka mendapat petunjuk” (QS 7:30)

“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan” (QS 72:6)


Wallahu ‘alamu bish-showab.

1 komentar:

Reyzha mengatakan...

Assalamualaikum... Rahayu .. bolehkah saya meminta file lagu nya kak? Soalnya dari sebagian yang nembang tidak bisa q hayati,berbeda dengan yang anda punya